Tugas dan Fungsi

Salah satu fungsi Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sebagai pelindung hak asasi manusia (the protector of the human rights) dan pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the constitutional citizen’s rights) sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang merupakan upaya melindungi hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945. Jika ketentuan suatu undang-undang telah melanggar hak konstitusional warga negara maka dapat dipastikan tindakan yang dilakukan berdasarkan ketentuan tersebut juga akan melanggar hak konstitusional warga negara. Mahkamah Konstitusi juga berwenang memutus perkara pembubaran partai politik yang dimaksudkan untuk melindungi hak konstitusional warga negara dari pencideraan oleh suatu partai politik. Jadi, seseorang atau para pihak yang memiliki legal standing dapat mengajukan pembubaran suatu partai politik yang dianggap telah menciderai hak konstitusional warga negara.

Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding) sejak ditetapkan dalam persidangan. Artinya, putusan MK merupakan putusan akhir sehingga tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Selain itu putusan MK juga dinyatakan mengikat dalam arti mengikat segenap pihak, baik warga negara maupun lembaga negara dan lembaga kemasyarakatan (erga omnes). Oleh karena itu putusan MK berlaku sebagai hukum positif.

Sebagai konsekuensi dari wewenang dan fungsinya tersebut di atas, MK memiliki tanggungjawab dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang nilai-nilai konstitusi dan hak-hak konstitusional warga negara. Nilai-nilai konstitusi bersumber dari nilai dasar (core value) Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Pemahaman tentang nilai dasar yang dijabarkan sebagai nilai konstitusional akan membuka pemahaman masyarakat untuk melihat secara jelas keberadaan Pancasila sebagai pandangan hidup, dasar negara dan ideologi nasional. Masyarakat akan semakin menyadari bahwa Pancasila merupakan pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita kemerdekaannya. Pancasila merupakan ideologi terbuka yang harus senantiasa dijaga agar tetap menjadi open and living ideology. Sebagai ideologi terbuka Pancasila memiliki nilai dasar, nilai instrumental dan nilai praksis. Oleh karena itu diperlukan upaya strategis guna menjaga dan melestarikan nilai dasar Pancasila dan perwujudannya dalam nilai instrumental dan nilai praksis seiring dengan perkembangan dan dinamika masyarakat bangsa Indonesia.

Perkembangan kehidupan kebangsaan Indonesia dewasa ini menunjukkan derasnya arus liberalisasi di hampir segenap kehidupan bangsa. Dorongan individualitas warga negara sebagai makhluk pribadi dengan kehendak bebasnya telah menempatkan masyarakat Indonesia dalam situasi yang memprihatinkan. Kebebasan telah mewujud menjadi ‘anarki dominasi mayoritas’ didukung pembentukan opini oleh media massa yang insinuatif dan cenderung disinformatif. Kedaulatan rakyat pada kenyataannya telah terkooptasi oleh praktek hedonisme, pragmatisme sempit bahkan sektarianisme sehingga melahirkan natural selection dan survival of the fittest. Sistem kehidupan masyarakat dan bangsa demikiankah yang menjadi cita-cita kemerdekaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila?

Situasi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan tersebut telah mendorong terbentuknya suatu kesepakatan antara para pemimpin lembaga negara yaitu Presiden dan Wakil Presiden, Pimpinan MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, dan KY dalam pertemuan pada 24 Mei 2011. Para pimpinan lembaga negara yang kewenangannya ditetapkan dalam UUD 1945 tersebut pada dasarnya bersepakat untuk melakukan upaya sungguh-sungguh untuk merevitalisasi Pancasila. Guna merealisasikan kesepakatan tersebut di lingkungan pemerintahan, misalnya, Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 71 Tahun 2012 tentang Pendidikan Wawasan Kebangsaan dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan menyiapkan Grand Design mengenai Pemantapan Wawasan Kebangsaan. Majelis Permusyawaratan Rakyat menjalankan Program Sosialisasi 4 (empat) Pilar, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

Dalam perspektif sebagai lembaga pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi berkepentingan terhadap setiap ikhtiar untuk meneguhkan Pancasila sebagai pandangan hidup, dasar negara, dan ideologi nasional. Kesepakatan pimpinan lembaga negara tersebut sejalan dengan Visi dan Misi Mahkamah Konstitusi. Visi MK adalah mengawal tegaknya konstitusi melalui peradilan konstitusi yang independen, imparsial, dan adil. Misi MK antara lain, meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai hak konstitusional warga negara.

Atas dasar gagasan tersebut serta demi terwujudnya Visi dan Misi MK maka pada 26 Februari 2013 MK pukul 10.00 WIB mendirikan Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi yang diresmikan oleh Presiden RI. Pusdik Pancasila dan Konstitusi bertempat di Desa Tugu Selatan, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Pusat pendidikan terdiri atas tujuh bangunan di areal seluas 14.282 meter persegi dan menelan biaya Rp 14,2 miliar dari APBN.

Model pendidikan yang dikembangkan pada Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi menitikberatkan pada penguatan kapasitas dan pembentukan kepribadian yang luhur sebagai proses hominisasi dan humanisasi menuju terwujudnya kemampuan membudaya diri sendiri sebagai manusia seutuhnya (purnawan).

Hominisasi merupakan proses pemanusiaan secara umum, yakni memasukkan manusia dalam lingkup hidup manusiawi secara minimal. Manusia tidak dengan sendirinya bersifat manusia sesudah kelahirannya. Diperlukan contoh dan bimbingan agar berperilaku manusiawi. Di sinilah peran pendidikan secara umum. Sesudah masuk dalam lingkup manusiawi dengan memenuhi kodratnya, pendidikan selanjutnya memanusiakan manusia secara khusus dalam proses humanisasi. Humanisasi adalah pembudayaan manusia ke tingkat kebudayaan yang lebih tinggi, seperti tampak dalam kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan. Manusia turun tangan dalam mengangkat alam menjadi alam manusiawi. Dengan demikian tidak ada batas antara hominisasi dan humanisasi.

Dengan kata lain, manusia tidak dapat dengan sendirinya mewujudkan kodratnya sebagai makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial yang mencakup keutuhan jiwa dan badan. Untuk menjadi manusia seutuhnya sesuai kodratnya, manusia perlu bimbingan dan contoh serta melalui pengalaman yang disebut sebagai pendidikan. Dengan demikian pendidikan Pancasila dan Konstitusi yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi meliputi 3 (tiga) kebijakan strategis :

Pertama, pendidikan yang memanusiakan.
Sebagaimana telah diuraikan, manusia dianugerahi kehendak bebas untuk menentukan pilihannya apakah akan mengutamakan dorongan dirinya sebagai makhluk pribadi atau sebagai makhluk sosial. Namun manusia juga dianugerahi akal budi yang mencakup daya pikir dan daya rasa yang secara kodrati ideal dan sempurna sebagai citra Allah . Memenuhi status ontologisnya sebagai citra Allah, manusia tidak saja ‘bisa’ tetapi bahkan ‘harus’ mengembangkan dirinya untuk menjadi lebih sempurna, lebih manusiawi (humanior). Akal budi manusia itulah yang memberikan kemampuan untuk mempertimbangkan mana baik dan mana buruk serta menentukan pilihannya. Kemampuan akal budi dan kehendak bebas tersebut tidak dapat berkembang ke arah kesempurnaan dengan sendirinya. Melalui pendidikan, potensi akal budi dan kehendak bebas ditumbuhkembangkan sehingga mewujudkan manusia seutuhnya, manusia yang sempurna sesuai kodratnya.
Sebagai makhluk sosial, realisasi martabat eksistensi pribadi manusia hanya akan berhasil sejauh dimungkinkan oleh orang lain atau sesamanya. Martabat sosial manusia meniscayakan manusia untuk saling mengadakan, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling memberi dan menerima serta saling menghargai dan mengartikan. Karena itu pendidikan nasional merupakan usaha untuk meningkatkan kualitas dan memperkuat kesadaran peserta didik bahwa kemajuan dan kesehteraan dirinya adalah dalam kerangka keadilan dalam kemajuan dan kesejahteraan masyarakat bangsanya. Keadilan, baik dalam berpartisipasi maupun dalam menerima hasilnya, mengandung arti memperlakukan setiap orang berbeda sebanding dengan perbedaannya. Oleh karena itu, setiap warga negara harus menerima yang sesuai dengan kemanusiaannya dan setara dengan darma baktinya .

Kedua, pendidikan yang membudayakan.
Sebagai makhluk pribadi yang berakal budi dan berkehendak bebas, manusia cenderung mengembangkan dirinya sebagaimana keinginannya. Namun kehadiran manusia berawal dari dalam keluarga yang hidup dalam lingkungan suatu masyarakat. Dalam menumbuhkembangkan dirinya, manusia harus berinteraksi dengan keluarga dan masyarakatnya. Interaksi tersebut mewujud dalam internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai yang setiap pribadi dan yang berlaku dalam masyarakatnya yang merupakan kebudayaan. Dengan demikian upaya menumbuhkembangkan manusia yang berupa internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai merupakan pendidikan yang membudayakan.

Ketiga, pendidikan yang mengindonesiakan.
Suatu bangsa, menurut Ernest Renan (1823-1892), seorang cendekiawan Perancis, adalah kelompok masyarakat yang memiliki kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble). Kehendak untuk bersatu pada dasarnya didorong oleh tumbuhnya solidaritas untuk berkorban dalam mewujudkan masa depan yang dicita-citakan. Lebih lanjut Renan menyatakan bahwa manusia sebagai individu bukanlah budak dan tidak hendak dijadikan budak oleh suatu etnik atau bangsa tertentu, atau bahkan oleh agama atau karena alasan geografis atau geopolitik tertentu . Persatuan yang membentuk suatu bangsa tumbuh, berkembang dan kokoh karena kerelaan menyatukan diri dan berkorban bagi bangsanya. Oleh karena itu eksistensi suatu bangsa bukanlah sesuatu yang abadi; dia harus dipelihara dan diperkokoh setiap saat.
Bangsa Indonesia adalah kelompok masyarakat yang mengikatkan diri dengan kesepakatan ber-satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air Indonesia yang didirikan atas dasar pandangan hidup Pancasila dengan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian, identitas ke-Indonesia-an ditunjukkan oleh adanya rasa dan semangat bersatu sebagai bangsa, yang menggunakan satu bahasa persatuan-bahasa Indonesia dan hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 serta memiliki rasa tanggung jawab sebagai warga dunia. Kata ‘mengindonesiakan’ menunjuk pada upaya untuk mewujudkan hal atau ciri khas yang menjadi identitas bangsa Indonesia sebagaimana ditegaskan di atas. Jadi pendidikan yang mengindonesiakan adalah usaha pendidikan yang mewujudkan, memelihara dan memperkokoh ciri khas yang menjadi identitas bangsa Indonesia.
Demikian pula dari segi penyelenggaraan, Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi diharapkan dapat menyelenggarakan kegiatan yang mendukung upaya mewujudkan center of excellence dalam dunia pendidikan di tanah air. Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi secara manfaat bukan hanya untuk Mahkamah Konstitusi akan tetapi Pusat Pendidikan Pancasila adalah milik bangsa Indonesia dalam rangka menumbuh-kembangkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.