STATISTIK PENGUNJUNG
  Hari ini
:
1
  Kemarin
:
2
  Bulan ini
:
27
  Tahun ini
:
124
  Total
:
5846095
  Alumni
:
48363
  Hits Count
:
271
  Now Online
:
1
Guru sebagai Agen Perubahan Sosialisasikan Pancasila dan Konstitusi
Diunggah pada : tuesday , 14 Apr 2020 10:06

 

BOGOR, HUMAS MKRI - Kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Bagi Forum Komunikasi (FK) Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) SMA Provinsi Jawa Barat di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua Bogor secara resmi ditutup oleh Kepala Bidang Program dan Penyelenggaraan Pusdik Pancasila dan Konstitusi, Nanang Subekti mewakili Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Pusdik Pancasila dan Konstitusi pada Jumat (28/2/2020) malam. 

“Kegiatan ini sebagai wujud nyata upaya Mahkamah Konstitusi dalam rangka menegakkan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi sekaligus untuk mewujudkan visi Mahkamah Konstitusi yaitu tegaknya Konstitusi di Indonesia,” ucap Nanang. 

Dikatakan Nanang, kegiatan ini merupakan strategi Mahkamah Konstitusi guna meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi. “Kalau sebelumnya Pancasila diajarkan secara doktriner, sekarang cenderung dilakukan cara diskusi. Bahkan kalau kegiatan cukup waktu, kita terjun langsung ke masyarakat dengan pola permainan dan pendekatan keakraban,” ujar Nanang. 

Pendidikan Pancasila dan Konstitusi di era sekarang, lanjut Nanang, selayaknya menemukan tempat di hati masyarakat. Terutama generasi muda yang akan menentukan takdir bangsa ke depan. Sosiolog Imam Prasodjo mengatakan, pengajaran Pancasila saat ini mensyaratkan kesesuaian antara si pengajar dan penerima pelajaran. Kesesuaian ini hanya tercapai bila seluruh elemen bangsa bergerak. 

“Generasi lebih senior mampu memberi teladan. Di sisi lain generasi yang lebih muda mengobarkan api optimisme republik ini,” ungkap Nanang yang juga menegaskan bahwa guru sebagai agen perubahan untuk melakukan sosialisasi nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi. 

 

Sejarah Pengujian Undang-Undang 

Sebelumnya, beragam kegiatan diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menghadirkan para narasumber sesuai keahlian masing-masing. Ada Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi dan Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.” Guntur menuturkan situasi masa silam di Inggris yang memperlihatkan betapa berkuasanya seorang raja. Bahkan dikatakan “Raja Tidak Pernah Salah”. Bahwa raja merupakan pembentuk undang-undang, melaksanakan undang-undang, mengeksekusi kalau ada orang yang melanggar undang-undang. Pada tahun 1700 barulah muncul keberanian mengkritik kesalahan parlemen, atau saat ada undang-undang yang bertentangan dengan hak-hak dan pendapat umum, kondisi masyarakat dan sebagainya. Namun kala itu, sama sekali belum dilakukan pengujian undang-undang karena begitu kuatnya posisi raja.

Dalam perkembangannya, sambung Guntur, judicial review justru terjadi di Amerika Serikat melalui Kasus Marbury vs Madison pada 1803 yang bemula dari sengketa perebutan kekuasaan antara John Adams dengan Thomas Jefferson. Singkat cerita, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat John Marshall berperan penting dalam penyelesaian kasus Marbury versus Madison (1803) dengan memperkenalkan mekanisme judicial review untuk pertama kali dalam praktik peradilan di Amerika Serikat.

Guntur juga menerangkan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara di Indonesia yang setara, tidak ada lembaga tertinggi negara, setelah perubahan UUD 1945. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 setelah amendemen bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Berikutnya, Guntur menguraikan tiga jenis lembaga kekuasaan di Indonesia yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Selain itu ada fungsi MK, antara lain sebagai Penjaga Demokrasi, Penjaga Konstitusi, Pelindung Hak Asasi Manusia dan Penafsir Akhir Konstitusi. 

Lebih lanjut, Guntur mengatakan bahwa putusan-putusan MK sudah mengakomodir, menjadikan sila-sila dalam Pancasila sebagai batu uji untuk perkara. “Bukan untuk menguji Pancasila. Namun Pancasia dijadikan sebagai batu uji,” jelas Guntur yang juga menjelaskan keberadaan Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi memiliki arti bahwa Mahkamah Konstitusi sangat concern dan konsisten terhadap upaya mengawal ideologi Pancasila. 

 

Berkonstitusi, Kesepakatan Kolektif

Sementara Jimly Asshiddiqie selaku Ketua MK pertama menyajikan materi “Konstitusi dan Konstitusionalisme.” Jimly mengatakan, berkonstitusi artinya menjadikan kesepakatan kolektif sebagai referensi untuk menyelenggarakan kegiatan bersama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan saat ini ada pihak yang memaknai Konstitusi sebagai negara kesepakatan. Sedangkan  JJ Rousseau menggunakan istilah “Kontrak Sosial” yang berarti negara perjanjian bersama. “Bernegara adalah bersepakat membangun organisasi bersama. Terlepas dari perbedaan agama, suku, ras, tetapi sekali kita bicara bernegara, itulah berkonstitusi,” kata Jimly. 

Jimly juga menanggapi kedudukan etika, hukum dan agama dalam masyarakat. “Mana yang lebih tinggi, etika, hukum atau agama? Ada yang bilang, agama paling tinggi. Etika tidak boleh bertentangan dengan agama. Hukum tidak boleh bertentangan dengan etika. Tapi kalau ditanya kepada ahli hukum aliran Kelsenian, hukum lebih tinggi dari etika dan etika lebih tinggi dari agama. Ini merupakan supremasi hukum. Dari segi scientific, hal itu mungkin benar. Tapi untuk public policy tunggu dulu,” ungkap Jimly.

Namun demikian, menurut Jimly, antara etika, hukum dan agama jangan hanya dilihat dari perspektif  “atas bawah” atau kedudukannya. Etika, hukum dan agama bisa juga dilihat dari perspektif “luar dalam”. Jimly mengatakan, hukum itu luarnya. Sedangkan esensinya adalah akhlak atau etika keadilan. 

“Hukum yang benar itu di dalamnya berakhlak, mulia, ada etika keadilan yang esensinya perintah agama. Kapal hukum tidak mungkin berlayar mencapai pulau keadilan, jikalau air samudera etikanya kering. Artinya, kalau akhlak tidak berfungsi di suatu negara, maka besar kemungkinan etika masyarakatnya tidak berfungsi dengan baik,” ujar Jimly yang juga menegaskan guru adalah aktor terdepan dan agen perubahan untuk ikut menyosialisasikan materi Pancasila dan Konstitusi. 


Selanjutnya ada narasumber Judhariksawan, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang menyampaikan materi “Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945.” Judhariksawan menjelaskan Teori JJ Rousseau bahwa kedaulatan adalah milik manusia dan kemudian berhimpun sesuai keinginan bersama, berkelompok, ada kesepakatan membentuk negara. “Kita bersama-sama membentuk negara.  Kalau kewajiban hanya dibebankan pada pemerintah, maka bisa anarkis warga negaranya. Harus ada keseimbangan. Oleh karena itulah warga negara diberikan kewajiban, di samping hak-haknya,” ujar Judhariksawan. 

Judhariksawan menerangkan soal hak-hak konstitusional warga negara yang disebutkan dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945. “Tidak ada definisi yang baku terkait apa yang dimaksud dengan hak-hak konstitusional. Karena itu, dalam berbagai presentasi, saya menyebut hak-hak  konstitusional sebagai seperangkat hak yang disepakati, diatur dan dijamin pemenuhannya dalam Konstitusi,” ungkap Judhariksawan. 

 

Selain itu hadir narasumber cendikiawan Yudi Latief  yang menampilkan materi “Reaktualisasi Nilai-Nilai Pancasila.” Di awal, Yudi mengutip ucapan Bung Hatta, “Ketika nama Indonesia disebut, ingat bahwa Indonesia memiliki wilayah yang luas dan penduduk yang majemuk.” Oleh karena itu, ujar Yudi, siapa saja yang ingin mengurus, memimpin, termasuk menjadi guru di Indonesia harus memiliki keluasan mental seluas Indonesia, memiliki keluasan rohani semajemuk bangsa Indonesia. 

Dalam pemaparannya, Yudi juga menjelaskan makna setiap sila dari Pancasila. “Lima sila itu menggambarkan keberagaman Indonesia dari berbagai sisi. Sila ketiga menggambarkan multi etnis dari bangsa Indonesia. Kita bahkan disebut sebagai negara multi etnis terbesar di dunia, ada lebih dari 700 etnis di nusantara. Sedangkan sila keempat menggambarkan dinamika politik yang berkembang pesat di Indonesia, banyaknya jumlah partai politik. Sila kelima menggambarkan lapisan sosial yang begitu kompleks. Ada hierarki kolonial, timur asing, bumi putera dan sebagainya,” papar Yudi.  

 

Lain pula dengan pakar hukum tata negara, Ni’matul Huda dengan materi “Sistem Penyelenggaraan Negara Menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Di awal pembahasan, Ni’matul menerangkan mengenai Cita Hukum Indonesia. Menurutnya, cita hukum bangsa Indonesia berakar dalam Pancasila, yang oleh para Pendiri Negara Republik Indonesia ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi negara sebagaimana yang dirumuskan dalam UUD 1945. 

“Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesama manusia, serta manusia dan alam semesta yang berintikan keyakinan tentang tempat manusia individual dalam masyarakat dan alam semesta. Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum, baik dalam pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945,” urai Ni’matul. 

Lebih lanjut Ni’matul menyinggung terkait implementasi putusan MK. “Sebenarnya putusan MK implementatif atau tidak? Hasil penelitian Universitas Islam Indonesia menunjukkan, ternyata implementasi putusan MK sangat beragam. Pengertian kita, norma diuji, maka undang-undangnya direvisi, atau diganti dengan yang baru. Tetapi implementasi di lapangan ada yang diatur dengan Peraturan Presiden, ada yang dengan Peraturan Menteri, Peraturan KPU dan lainnya,” jelas Ni’matul.

Lantas seberapa besar putusan MK dipatuhi pihak-pihak yang terkena adressat putusan? “Ternyata hanya 49 persen, yang 51 persen tidak mematuhi putusan MK meskipun yang diuji adalah norma undang-undang. Kalau begitu, kita ini negara hukum atau tidak? Konstitusi kita bisa dibunyikan atau tidak?” ujar Ni’matul mempertanyakan. 

 

Kegiatan penting lainnya, ada sesi Teknik dan Diskusi Penyusunan Permohonan Pengujian Undang-Undang yang disampaikan oleh tim dari MK. Kemudian berlanjut dengan Praktik Penyusunan Permohonan Pengujian Undang-Undang. Tak kalah penting, ada sesi Penanganan Perkara Pengujian Undang- Undang Berbasis Teknologi Informasi  dari Tim Pusat Informasi Teknologi Informasi dan Komunikasi MK. (Nano Tresna Arfana/LA)