STATISTIK PENGUNJUNG
  Hari ini
:
1
  Kemarin
:
1
  Bulan ini
:
32
  Tahun ini
:
95
  Total
:
5842669
  Alumni
:
48363
  Hits Count
:
111
  Now Online
:
1
Arsitek Pelajari Hak Konstitusional
Diunggah pada : tuesday , 12 May 2020 17:22

 

BOGOR, HUMAS MKRI - Dalam kegiatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Ikatan Arsitek Indonesia yang digelar Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Pakar Hukum Tata Negara Andi Irmanputra Sidin dengan pemaparan berjudul “Sistem Penyelenggaraan Negara Menurut  UUD  1945.” Dalam uraiannya, Irman menerangkan bahwa ketika amendemen UUD 1945 dilakukan maka demokrasi langsung adalah pilihan yang diambil usai perjalanan panjang kekuasaan yang terpusat pada presiden.

Pada masa reformasi tersebut, sambung Irman, setiap masyarakat ingin mengetahui dan mengenal pribadi yang akan mewakili dirinya. Maka wajar apabila masa sekarang ini mulai ada keluhan dari para arsitek, terhadap aturan yang dibuat pembuat undang-undang terdahulu hingga masa setelah amendemen. Misalnya saja terkait UU Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang sangat mungkin keberadaan pasal-pasalnya sudah tidak relevan dengan perkembangan yang terjadi dalam lingkup perkembangan dunia arsitektur. Sehingga, begitu penting bagi para arsitek mulai saat ini memiliki pemahaman pada sistem penyelenggaraan negara.

“Dulu presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan, tapi rakyat kemudian menolak dalam tuntutan redormasi. Dulu apabila kapitalisme ingin menguasai negara, maka cukup menguasai presidennya. Karena presiden tersebut dapat mengeluarkan peraturan yang konstitusional. Maka dari itu, kita perlu melek tentang sistem bernegara ini, termasuk para arsitek,” ujar Irman di hadapan 71 peserta kegiatan di Grha 3 Gedung Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi MK, Bogor.

Lebih lanjut, Irman menjelaskan bahwa setelah adanya reformasi maka kekuasan pembentukan UU dikembalikan kepada DPR dengan masa pemilihan kembali tiap lima tahun. Apabila UU yang dihasilkannya tersebut bertambarakn dengan aturan lain dan bahkan berdampak pada implementasi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka di sinilah Mahkamah Konsitutsi hadir menjamin atas kepastian hukumnya. “Dengan amendemen kita mewakilkan suara kita pada partai politik yang berjuang mencari wakil-wakil rakyat untuk duduk di parlemen. Cita-citanya begitu, walaupun pada kenyataan hal itu tidak sempurna terjadi karena parpol pusing juga cari calon,” ungkap Irman.

 

Kesadaran Kolektif

Hayyan ul Haq yang juga dihadirkan pada hari kedua sebagai pemateri dalam kegiatan ini melalui presentasi berjudul “Reaktualisasi Implementasi Nilai-Nilai Pancasila” mengajak para peserta untuk memahami konsep dasar dari produk hukum. Bahwa, dalam teorinya seluruh produk hukum adalah kesadaran kolektif masyarakat. Ketika sampai pada bahasan mengenai Pancasila sebagai nilai dasar maka hal ini merupakan suatu pondasi. Dengan kata lain, ketika bicara Pancasila ini adalah akibat kesadaran kolektif yang menjadi identitas bangsa.

“Jadi Pancasila itu merupakan pembadanan dari diri kita yakni masyarakat Indonesia. Sehingga, Pancasila adalah jawaban dari eksistensi masyarakat Indonesia itu sendiri. Maka, konsekuensi dari hal ini adalah setiap program yang tidak boleh bertentangan dengan nilai Pancasila,” terang Hayyan.

 

Hak dan Kewajiban

Sementara itu, Hesti Armiwulan dalam materi berjudul “Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ia menyatakan jika bicara tentang hak konstitusional, maka hal-hal tersebut akan ditemukan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurutnya apabila berdasarkan pada UUD 1945, maka hanya ada 7 hak dasar yang termaktub di dalamnya, namun jika menyebut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka akan ditemukan 26 pasal tambahan yang berhubungan dengan hak konstitusional warga negara.

Dalam uraiannya, Hesti mengetengahkan bahwa sesungguhnya dalam UUD NRI 1945 tersebut juga terdapat bahasan mengenai kewajiban yang harus dilakukan negara untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan hak asasi manusia yang ada di dalam konstitusi tersebut.  

Berkaitan dengan pemahaman HAM tersebut, Hesti melihat bahwa dalam perkembangannya terdapat dua anak dari hak tersebut, yakni hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya. Bahwa hak sipil poltik itu disebut juga dengan hak negatif. Artinya, hak yang akan terpenuhi apabila interfensi negara kecil di dalamnya, seperti kebebasan dan keadilan. Sedangkan hak ekonomi sosial budaya disebut juga hak sipil positif karena makin besar interfensi negara maka akan makin besar pula unsure terpenuhinya hak warga negara tersebut. “bahwa negara wajib hadir dalam pemenuhan hak-hak ini. Jika negara tak ada, maka negara tidak menjalankan kewajibannya,” ujar Hesti.

 

Pada kesempatan ini, Ikatan Arsitek Indonesia adalah peserta yang hadir selama empat hari sejak Senin - Kamis, (2 - 5/3/2020) untuk mengikuti serangkaian pemaparan materi terkait sistem hukum tata negara, sistem penyelenggaraan negara menurut UUD 1945, dan praktik pengajuan permohonan pengujian undang-undang. Kepada seluruh peserta ini diberikan berbagai materi yang disampaikan langsung oleh hakim konstitusi, para pakar hukum tata negara, serta para peneliti dan Panitera Pengganti MK dengan sangat sistematis, jelas, dan menggunakan bahasa yang lugas. (Sri Pujianti/LA)