STATISTIK PENGUNJUNG
  Hari ini
:
1
  Kemarin
:
1
  Bulan ini
:
27
  Tahun ini
:
287
  Total
:
5871332
  Alumni
:
50523
  Hits Count
:
61
  Now Online
:
1
Anwar Usman Tekankan Pentingnya Hak Konstitusional kepada Analis Hukum
Diunggah pada : wednesday, 24 Aug 2022 11:11

 

BOGOR, HUMAS MKRI – Terdapat satu materi penting dalam Perubahan UUD 1945 baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi substansi,  yakni dimuatnya secara khusus Bab tentang Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana tercantum dalam Bab XA. Penempatan dan pengaturan secara khusus tentang HAM mengindikasikan bahwa negara ingin memberikan jaminan perlindungan hak konstitusional terhadap warga negara. Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar usman dalam pembukaan Bimbingan Teknis Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (PUU) bagi Analis Hukum Angkatan II, pada Selasa (23/8/2022) di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor.

Sejalan dengan itu, sambung Anwar, dibentuknya MK juga ditujukan untuk mengawal terjaminnya hak konstitusional warga negara. Dalam konteks ini, MK bertugas untuk mengawal agar hak konstitusional warga negara, dapat dijamin pelaksanaannya, melalui pembentukan UU sebagaimana digariskan dalam UUD 1945. Sebagaimana diketahui, bahwa UU, merupakan produk politik yang dibentuk oleh dua lembaga negara, yakni legislatif dan eksekutif. Kedua lembaga negara ini, mendapatkan legitimasi kekuasaannya, melalui konsep demokrasi, yaitu pemilihan umum. Produk pemilu, tentulah, menghasilkan suara mayoritas, yang pada akhirnya berujung kepada kekuasaan, untuk dapat duduk secara mayoritas pula, baik di parlemen, maupun kedudukan tertinggi di eksekutif, yakni sebagai Presiden.

Menurut Anwar, konsep semacam ini berlaku hampir di semua negara yang menganut paham demokrasi, dengan bertumpu pada prinsip teori kedaulatan rakyat, dimana rakyat digambarkan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Hal ini, seolah telah menggambarkan konsep yang ideal, dalam sistem bernegara. “Padahal, jika kita cermati, prinsip demokrasi semacam ini, justru memiliki kelemahan. Karena, konsep ini, hanya membawa suara mayoritas semata, sebagai suara kebenaran, yang belum tentu benar,” ujar Anwar dalam acara yang dihadiri sebanyak 376 orang analis hukum secara daring tersebut.

Lebih lanjut Anwar menjelaskan, paham demokrasi yang dianut saat ini harus berjalan beriring dengan paham nomokrasi atau (konstitusi), sebagai konsensus norma tertinggi dalam bernegara. Hal ini, memiliki konsekuensi logis meskipun suatu UU, telah dibentuk oleh lembaga legislatif bersama eksekutif namun guna menghindari terjadinya tirani mayoritas terhadap minoritas, maka mekanisme pengujian undang-undang di MK, merupakan suatu cara, bagi setiap warga negara untuk memproteksi dirinya, dari pelanggaran terhadap hak konstitusional, yang mungkin dideritanya, akibat berlakunya suatu UU.

“Jika lembaga eksekutif dan legislatif memiliki kewenangan secara positif, yaitu untuk membentuk undang-undang, maka, MK memiliki kewenangan secara negatif, yaitu untuk membatalkannya. Paradigma keseimbangan antara lembaga negara ini berangkat dari pemikiran, tentang perlunya keseimbangan, antara sistem demokrasi, yang mengedepankan kedaulatan rakyat, dengan kedaulatan norma yang telah menjadi konsensus bernegara,” terang Anwar.

Anwar menegaskan, hal tersebut didasari dari latar belakang pemikiran yang bersifat faktual bahwa fitrah dari kekuasaan yang lahir dari sistem demokrasi, bersifat mayoritarian, dan memiliki kecenderungan abuse, terhadap kekuasaan yang dimilikinya. Akibat dari kedudukannya yang bersifat mayoritas tersebut, maka, kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif, dalam membentuk suatu undang-undang, diatur secara ketat, baik secara formil, maupun materiil. Aturan secara formil, menentukan, bahwa suatu UU, harus dibentuk sesuai dengan proses pembentukannya. Sedangkan dari aspek materiil, substansi, atau materi muatan suatu UU, tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, sebagai peraturan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pengujian UU, terhadap UUD di MK, dapat menyangkut dua aspek tersebut, yakni pengujian yang bersifat formil dan materiil.

Selanjutnya, Anwar juga menjelaskan, pada mula MK berdiri dan diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat satu norma yang melarang, bahwa, UU yang dapat dimohonkan untuk diuji, adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945.  Norma ini, tentu berangkat dari suatu prinsip, bahwa hukum, harus bersifat prospektif, dan bukan retroaktif. Namun, sambungnya, norma ini tentu bertentangan dengan semangat dibentuknya MK, yaitu untuk memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara, dari berlakunya suatu UU, yang bertentangan dengan UUD. Padahal, suatu UU yang lahir sebelum dilakukannya perubahan UUD 1945, tidak tertutup kemungkinan, dapat pula melanggar hak konstitusional warga negara.

“Jika norma ini tetap ada, maka, tentu saja di dalam hukum acara PUU, ketentuan ini, menjadi syarat formil bagi Pemohon, untuk melakukan pengujian suatu UU. Oleh karena itu, sejak tahun 2004 norma Pasal ini, telah dibatalkan oleh MK, melalui Putusan Nomor 066/PUU-II/2004,” ujar Anwar.

Terkait Amar Putusan MK, menurut Anwar, meski UU hanya mengatur tiga varian bentuk amar putusan, yakni tidak dapat diterima, ditolak, dan dikabulkan, namun di dalam perkembangannya, terdapat putusan MK yang bersifat bersyarat, yakni putusan conditionally constitusional dan conditionally unconstitutional. Bahkan, ada pula putusan MK yang di dalam amarnya menolak, namun pada bagian pertimbangannya, memberikan pesan kepada pembentuk UU, untuk mengubahnya. Serta, masih banyak varian lainnya, dalam  hukum acara PUU, yang merupakan perkembangan dari putusan-putusan MK. Termasuk Hukum Acara tentang PUU yang baru, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 2 Tahun 2021.


Angkatan Kedua

Sementara Plh. Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (Pusdik MK) Imam Margono mengatakan bahwa peserta kegiatan ini merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertugas di seluruh Kementerian, Pemerintah Daerah (Pemda)  yang tersebar di seluruh tanah air.

“Ini merupakan kegiatan yang kedua yang pada pada kegiatan pertama teruntuk angkatan pertama  yang telah dilaksanakan pada bulan Juli yaitu tepatnya tanggal 4 sampai tanggal 7 Juli 2022 yang lalu atas pertimbangan bahwa ada keterkaitan yang sangat era tantara MK dengan para analis hukum yaitu MK mendorong terwujudnya budaya sadar berkonstitusi kepada seluruh teman-teman analis hukum agar dapat menjadi pihak yang memiliki peran dan posisi strategis untuk mewujudkan budaya sadar Pancasila dan Konstitusi,” ungkap Imam saat memberikan laporan kegiatan.

Selain itu, Imam juga mengatakan kegiatan ini akan diselenggarakan selama empat hari yang dimulai pada Selasa (23/8/2022) hingga Jumat (26/8/2022) yang diikuti oleh 376 peserta yang tercatat dalam sistem informasi Pusdik MK.


Penting Bagi Analis Hukum

Sedangkan Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN Yunan Hilmy mengucapkan bahwa pihaknya berterima kasih dan mengapresiasi kepada MK atas kerja sama penyelenggaraan bimbingan teknis hukum acara PUU analis hukum Angkatan II ini. “Semoga kerja sama terkait jabatan fungsional analis hukum semacam ini dapat dilaksanakan secara berkelanjutan di masa-masa yang akan datang,” ucapnya.

Hilmy menjelaskan, hukum memiliki peranan penting dalam pembentukan nilai sebuah peradaban bangsa yang beradab tentu menjadikan hukum sebagai kaidah tertinggi dalam melakukan aksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, manusia dan hukum merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan.

Lebih lanjut Hilmy menerangkan, tugas dan peran seorang analis hukum memiliki tugas yang luas sehingga perlu diimbangi dengan pengembangan kompetensi yang terarah dan terukur oleh seorang analis hukum. Kegiatan ini diharapkan bagi seorang analis hukum dapat menjadi satu bagian dari pengembangan potensi aturan hukum yang harus dimiliki oleh seorang analis hukum.

“Melalui kegiatan ini diharapkan para analis hukum tidak saja lebih paham makna konstitusi dan Pancasila akan tetapi juga memiliki pengetahuan pemahaman dan penguasaan hukum acara pengujian undang-undang yang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi,” tandas Hilmy. (*)


Penulis: Utami Argawati

Editor: Lulu Anjarsari P.