MK dan Pakar Hukum Bahas Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum

Diunggah pada : saturday , 17 Dec 2022 00:00

BOGOR, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar focus group discussion dengan tema “Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum Menuju ke Arah Terwujudnya Sistem Hukum yang Berkarakter Pancasila” yang berlangsung di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi MK, di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, pada Jumat (16/12/2022).

Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah, pembicara pertama sesi satu kegiatan ini, di awal pemaparannya mengungkapkan, MK mengundang para pakar di bidang hukum untuk mendapatkan masukan dari para ahli yang secara umum merupakan para senior. Sehingga pandangannya lebih bijaksana. Lebih lanjut, ia mengatakan pertemuan dengan para pakar dan akademisi ini untuk menerjemahkan ideologi Pancasila ke dalam pendidikan tinggi.

Dikatakan Guntur, Pancasila seharusnya tidak hanya diinternalisasi, namun juga harus menjadi rujukan hukum ïnternasional. “Karena dalam beberapa perkara Pancasila telah dijadikan salah standar untuk menguji undang-undang,” ujarnya.

Guntur mengungkapkan, perlu adanya internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan tinggi. Dijelaskan olehnya, ada kegelisahan dari pakar dan dosen hukum terhadap kondisi pendidikan di Indonesia, bahwa para mahasiswa saat ini memang memiliki kemampuan yang hebat, memiliki kemampuan berbahasa Inggris dan akademik yang hebat, namun di sisi lain tidak memiliki sikap yang baik. “Oleh karena itu perlu adanya pembentukan terhadap sikap dan perilaku peserta Pendidikan tinggi hukum,” jelasnya.

Selain itu, Guntur menyampaikan pendidikan tinggi saat ini  hanya terpaku pada indeks prestasi kumulatif (IPK). Hal ini memerlukan adanya perubahan dalam sistem penilaian dalam pendidikan tinggi sehingga ada penilaian yang komprehensif, antara lain penilaian terhadap sikap dan perilaku. “Jika itu dapat dipenuhi maka Indonesia akan menuju democratic religious state,” tuturnya.

Hal berikutnya, ia menilainya perlu adanya Indeks Supremasi Konstitusi (ISK). Ia menyebut penegakan hukum tidak hanya terkait dengan peraturan perundangan-undangan saja, tapi juga harus didekati melalui nilai-nilai yang ada dalam konstitusi.

“Apakah peraturan perundang-undangan sudah sesuai dengan konstitusi atau tidak, termasuk dalam hal pembentukan kebijakan pendidikan tinggi?” sebut Guntur yang juga menjelaskan selama menjabat sebagai Sekretaris Jenderal MK, dirinya menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam tataran praktik di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK.

Baca juga: Tingkatkan Peran Perguruan Tinggi, MK Gelar FGD bagi Pakar dan Akademisi Ilmu Hukum

Perbandingan Pendidikan Hukum

Pembicara berikutnya, Hakim Konstitusi Saldi Isra, dalam pemaparannya mengungkapkan pengalamannya ketika mengikuti studi singkat di Birmingham, Inggris, mengenai demokrasi. Menurutnya, pada awal-awal masa studi justru tidak mendapatkan materi mengenai prinsip-prinsip demokrasi, justru, para peserta yang datang dari berbagai negara mendapatkan doktrin dari seorang profesor mengenai sejarah kota Birmingham sebagai kota yang paling plural karena semua suku bangsa ada di kota itu, serta tentang metode pendidikan di kota Birmingham.

Berikutnya Saldi mengatakan pengalamannya ketika mengikuti studi singkat di Jepang. Ia mengungkapkan tingginya tingkat kepatuhan masyarakat Jepang terhadap hukum.  Ia menjelaskan tingkat kepatuhan terhadap hukum tersebut tidak terlepas dari sistem pendidikan tinggi hukum di Jepang. “Lulusan sarjana hukum di jepang ketika ingin menjadi penegak hukum, tidak dapat memilih sendiri profesinya,” jelasnya.

Saldi mengisahkan para sarjana hukum harus mengikuti pendidikan di satu lembaga tunggal selama 13 bulan untuk mendapatkan pendidikan yang sama dan secara terus-menerus dipantau perkembangan perilakunya. Peserta didik yang gugur di tengah jalan, lebih banyak terjadi bukan karena tidak mampu menjawab soal-soal hukum, tapi karena ada perilakunya yang dapat merusak cara pandang hukum orang Jepang.

“Penilaian selama 13 bulan itulah nanti yang akan menentukan orang itu cocok diletakan di mana, dia bisa jadi advokat, bisa jadi jaksa, bisa jadi hakim, atau mungkin karena memenuhi semua standar dia bisa memilih,” ungkap Saldi.

Dari dua contoh itu, Saldi menilai pendidikan tinggi hukum Indonesia tidak memiliki ruang yang cukup untuk memperkenalkan lebih dalam pemahaman ideologi Pancasila. Jika melihat kurikulum pendidikan tinggi hukum di Indonesia tidak ada penekanan terhadap pentingnya ideologi negara, bahkan pendidikan Pancasila mulai ditinggalkan.

“Dengan kondisi itu, maka harus ada perbaikan terhadap kurikulum, agar penegak hukum paham dengan soal ideologi Pancasila dalam penegakan hukum. Oleh karena itu menginjeksikan ideologi dalam kurikulum menjadi sesuatu yang penting,” urainya.

Saldi melihat pendidikan tinggi hukum saat ini seperti mesin, hanya menilai agar memenuhi akreditasi, bahkan Saldi juga melihat kampus saat ini sudah seperti mesin ekonomi. Hal ini karena dengan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum, maka kampus harus mencari uang sendiri untuk menjalankan roda pendidikan, yang kemudian membebani kepada peserta didik. “Akibat lainnya, pendidikan tinggi hukum saat ini bisa merekrut ratusan mahasiswa baru untuk satu angkatan,” jelasnya.

Saldi menambahkan jika merujuk pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), maka pembiayaan pendidikan tinggi seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya. “Sementara terhadap peserta didik seharusnya hanya dibebani dengan urusan biaya hidup sehari-hari,” tuturnya.

Pancasila sebagai Ideologi

Masih di sesi satu kegiatan FGD, pembicara berikutnya adalah Arief Hidayat, menjelaskan bagaimana Pancasila sebagai ideologi dapat saja diterapkan di berbagai negara. Menurutnya, Pancasila memiliki keunikan tersendiri, tidak hanya dapat diterapkan di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara karena dapat memadu padankan berbagai perbedaan, sehingga tepat diterapkan pada bangsa yang heterogen.

Dalam kesempatan itu, Arief mengatakan apakah tepat jika hukum diputus dengan menggunakan artificial intelligent. Padahal dalam memutus hukum harus menggunakan nurani, apalagi untuk Indonesia dengan sistem hukum Pancasila. Dikatakan olehnya, Indonesia memiliki konsep hukum Pancasila yang dapat dipertahankan dengan pendidikan hukum berkarakter Pancasila.

Arief juga menyemangati para pakar dan akademisi yang hadir, untuk tetap bersemangat dalam memberikan pemahaman ideologi Pancasila kepada peserta didik, meski secara ekonomi tidak memberikan keuntungan materi pribadi. Hukum Indonesia harus diarahkan sesuai dengan visi misi negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, mengingat era saat ini penuh kekaburan.

Kemudian, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang hadir dalam kesempatan itu mengatakan, berdasar Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional Indonesia berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bahkan dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi dinyatakan diselenggarakan berdasar Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. “Dengan demikian secara regulasi sudah memiliki landasan yang kuat bahwa Pendidikan harus diselenggarakan berdasar Pancasila dan UUD 1945,” jelasnya.

Wahiduddin mengatakan, ilmu harus terintegrasi, maka hal itu yang menjadi dasar Institut Agama Islam berubah menjadi Universitas Islam Negeri, karena wujud dari integrasi ilmu. Berikutnya Wahiduddin menjelaskan, Pancasila hanya kuat jika memiliki landasan yang kuat secara keilmuan, dan sebaliknya, jika tidak memiliki landasan yang kuat secara keilmuan maka Pancasila tidak akan bertahan lama.

Untuk diketahui, kegiatan tersebut dihadiri oleh 34 orang guru besar dan akademisi dari sebanyak 42 orang undangan. Para peserta akan mendapatkan materi tentang Konstitusi dan Konstitusionalisme serta melakukan praktik aktualisasi Pancasila secara langsung.(*)

Penulis: Ilham W.M
Editor: Lulu Anjarsari P.