Sejumlah Pakar Tawarkan Konsep Pendidikan Hukum Berkarakter Pancasila

Diunggah pada : saturday , 17 Dec 2022 00:00

BOGOR, HUMAS MKRI – Kegiatan focus grous discussion (FGD) yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi memasuki hari kedua, Sabtu (17/12/2022) di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. FGD dengan tema “Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum Menuju ke Arah Terwujudnya Sistem Hukum yang Berkarakter Pancasila” ini menghadirkan sejumlah pakar yang menawarkan konsep pendidikan tinggi hukum di Indonesia.

Pakar hukum Universitas Sriwijaya Palembang, Amzulian Rifai, selaku pembicara pertama sesi dua, dalam paparannya mengatakan, perguruan tinggi hukum seharusnya berperan besar berkontribusi terhadap pendidikan berkarakter Pancasila. Amzulian menyoroti banyaknya putusan pengadilan yang tidak dijalankan serta praktik birokrasi yang tidak sesuai dengan harapan. Penegakan hukum yang bergantung pada birokrasi, menjadi tantangan hukum Pancasila. Birokrasi dan aparat penegak hukum yang tidak memberikan pelayanan dengan benar. Hal ini menurutnya menjadi salah tantangan bagi dunia pendidikan tinggi hukum. Tantangan berikutnya adalah rasio dosen dan mahasiswa yang belum memadai.

Beberapa keluhan yang diterima olehnya mengatakan, lulusan hukum di Indonesia belum berkarakter Pancasila dan belum siap kerja. Bahkan tidak mempunyai kemampuan dalam bekerja. Lulusan hukum seharusnya memiliki kemampuan riset dan menulis. Hal ini dipengaruhi juga oleh proses seleksi mahasiswa baru yang menjadikan fakultas hukum bukan sebagai pilihan pertama untuk kuliah.

Metode pembelajaran dan soft skill juga dinilai oleh Amzulian belum memadai. Termasuk program untuk mentransfer nilai-nilai Pancasila kepada mahasiswa milenial. Amzulian mengungkapkan pengalaman pribadinya, banyak mahasiswa hukum yang bercita-cita menjadi advokat bukan karena ingin memperbaiki sistem hukum Indonesia, melainkan karena melihat gaya hidup yang mewah.

 

Pendekatan Nilai dan Karakter

Pembicara kedua sesi kedua, pakar hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Marsudi Triatmodjo mengatakan pendidikan tinggi hukum Indonesia masih banyak kekurangan. Kurikulum pendidikan hukum belum menyentuh karakter, masih berkutat pada pengetahuan dan skill. Lebih jauh akan lebih bahaya jika kita mengacu pada moto pendidikan hukum di Kawasan Amerika Utara, karena peserta didik selalu ditanamkan untuk memenangkan perkara.

“Bayangkan kalau harus memenangkan kasus, padahal kasusnya tentang pemerkosaan, pembunuhan, pencurian, tapi dia harus memenangkan kasus. Ini sangat bertentangan dengan kemanusiaan dari mahasiswa tersebut,” ujar Marsudi.

Marsudi menawarkan gagasan, metode pembelajaran pendidikan hukum seharusnya menggunakan pendekatan nilai dan karakter. Namun pendekatannya yang harus diubah dengan pola pembiasaan dalam perilaku sehari-hari. Selain itu, nilai-nilai ideologi juga disesuaikan dengan mata kuliah yang diajarkan. Misalnya ketika membahas hukum internasional, maka ada nilai-nilai yang ditanamkan bagaimana membela kepentingan nasional.

 

Ilmu yang Amaliah

Pakar hukum UGM Sudjito yang menjadi pembicara ketiga sesi kedua FGD ini dalam paparannya melihat pendidikan tinggi Indonesia belum berjalan ke arah yang benar. Sudjito memberikan contoh, Indonesia memiliki banyak fakultas hukum tapi banyak masalah hukum. Memiliki banyak fakultas ekonomi tapi justru menjadi kapitalis. Memiliki banyak fakultas ilmu politik tapi politiknya kacau. Bahkan memiliki fakultas ilmu sosial tapi malah menjadi individualis.

“Ilmu itu tidak boleh bebas nilai, harus sarat dengan nilai, nah itu oleh karenanya kita berbicara pendidikan tinggi di universitas ini harus pendidikan keilmuan, pendidikan di bidang hukum juga jangan soal norma knowledge yang diberikan kepada mahasiswa, tapi pendidikan keilmuan,” ujar Sudjito. Oleh karena itu, kata Sudjito, dirinya pernah meminta untuk mengubah Fakultas Hukum menjadi Fakultas Ilmu Hukum. Di dalamnya ada nilai, norma, dan implementasi. Sehingga ilmu hukum menjadi ilmu yang amaliah.

Selain itu, Sudjito melihat selama ini kita terbelenggu dengan warisan hukum Belanda. Hukum sebagai produk penguasa dan rakyat harus tunduk pada penguasa. Menurutnya, dalam mengajarkan ilmu hukum tidak hanya mengajarkan kebenaran, tetapi juga keadilan. Jika perkuliahan hanya seperti mensosialisasikan undang-undang, maka itu bukan pendidikan, melainkan hanya menjadi bagian dari penguasa.

Berdasar paradigma Pancasila, jelasnya, pendidikan ilmu hukum memiliki enam karakteristik. Pertama, ilmu hukum harus didasarkan pada nilai Ketuhanan. Kedua, ilmu hukum harus menjadi satu kesatuan yang utuh tidak boleh terfragmentasi. Ketiga, terbuka terhadap berbagai nilai. Keempat, ilmu hukum harus mengarah kepada tujuan bernegara. Kelima, ilmu hukum tidak boleh netral secara moral. Jika kita menginginkan ilmu hukum yang berkarakter Pancasila, maka ilmu hukum harus memiliki nilai moral Pancasila. Keenam, ilmu hukum tidak boleh memanipulasi alam, justru harus menjadi sahabat alam atau lingkungan hidup.

 

Bahaya Krisis Karakter dan Ideologi

FGD berlanjut memasuki sesi tiga. Pembicara pertama, pakar hukum Universitas Hasanuddin Makassar, Syamsul Bachri, mengatakan Pancasila menjadi sumber dari segala hukum. Namun pada praktiknya tidak menjadi acuan dalam perumusan peraturan perundang-undangan.

“Pancasila tidak termasuk dalam hierarki perundang-undangan. Padahal keberadaannya sangat menjiwai dari kelangsungan hidup bangsa ini,” ujar Syamsul.

Kondisi itu menurut Syamsul, mengakibatkan hukum menjadi tidak harmoni. Pancasila hanya menjadi simbol, dan dalam faktanya penyelenggaraan pemerintahan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Pancasila yang berdampak pada runtuhnya karakter dan integritas bangsa ini. Syamsul berpandangan, krisis terhadap karakter dan ideologi lebih berbahaya dari pada krisis ekonomi karena menghilangkan sikap toleran, tidak menghormati nilai-nilai pluralisme, dan memunculkan sikap tidak setia pada negara.

Pendidikan tinggi hukum harus memiliki ketajaman kurikulum yang seimbang antara lingkungan akademis dan praktis dalam upaya mewujudkan hukum yang berkeadilan secara substansial di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karenanya, ujar Syamsul, sistem pendidikan sekarang harus memuat wawasan kebhinnekaan untuk memberikan ruang kepada daerah untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan daerah.

Syamsul juga mengingatkan, saat ini kita terjebak dengan internasionalisasi perguruan tinggi, world class university, yang diukur dengan angka-angka. Namun secara kualitatif ukuran-ukuran kuantitatif itu menjadi pertanyaan.

 

Pendidikan Karakter dan Etika

Pembicara kedua sesi ketiga FGD, pakar hukum Universitas Airlangga Muchammad Zaidun. Menurutnya, Indonesia saat ini menuju liberalisme. Padahal jika ditelisik secara mendalam justru Pancasila condong kepada sosialisme sebagaimana tercermin dalam sila ke lima.

Dalam hal pendidikan tinggi hukum, Zaidun mengatakan, selain berdimensi keilmuan dan profesi hukum, pendidikan tinggi hukum yang berkarakter Pancasila harus juga memuat pendidikan karakter dan etika. Dalam penguasaan ilmu hukum, maka selain harus mengutamakan penguasaan pengetahuan hukum, ilmu hukum juga harus ditanamkan pemahaman penegakan penerapan hukum.

Dalam pendidikan hukum, selain menyangkut transformasi substansi ilmu hukum, juga terkait dengan mendidik para calon ilmuwan/perumus kebijakan hukum, dan calon profesional hukum yang berkarakter Pancasila. Untuk mengukur apakah seorang peserta didik telah mencerminkan manusia yang Pancasilais, maka dapat menggunakan indikator apakah pemahaman dan pengalaman agamanya sudah baik dan benar. Apakah perilakunya telah mencerminkan kepribadian nasional, dan memiliki toleransi budaya yang beradab sesuai dengan kaidah budaya nasional.

 

Nuansa Spiritual

Pembicara ketiga sesi tiga, pakar hukum universitas Brawijaya, I Nyoman Nurjaya mengatakan pendidikan tinggi hukum di Indonesia saat ini tidak dapat dilepaskan dengan pola pikir pendidikan hukum di masa lalu. Pendidikan tinggi hukum Pancasila hendaknya dapat melahirkan lulusan yang tidak hanya cakap, pandai, dan mahir menerapkan hukum, tetapi juga mampu orientasi berpikir yang memiliki nuansa spiritual untuk membangun sistem hukum berlandaskan moral Pancasila dan berkarakter Indonesia.

Namun demikian, kata Nurjaya, kita juga harus memahami di masa lalu pendidikan hukum memang sengaja ditujukan untuk mencetak tukang yang cakap menerapkan hukum, karena saat itu memang dibutuhkan oleh penjajah. Kondisi demikian berlangsung hingga tahun 1970-an. Hal itu tidak salah karena memang kebutuhan pada masa setelah kemerdekaan, di mana negara membutuhkan banyak hakim dan jaksa, bahkan, pada saat itu lulusan sekolah hakim dan jaksa melanjutkan pendidikan ke fakultas hukum

Nurjaya mengatakan fakultas hukum bukan fakultas undang-undang. Oleh karena itu, harus dibedakan antara hukum dengan undang-undang. Tidak mengherankan jika ada ide menarik yang muncul dalam FGD ini penamaan Fakultas Hukum diganti dengan Fakultas Ilmu Hukum.

Terkait dengan perbaikan pendidikan tinggi hukum, harus ada perubahan yang mendasar, tidak hanya cakap menerapkan, tetapi juga memiliki karakter Pancasila yang sesuai dengan karakter budaya bangsa. Selain itu, jangan hanya menggarap mahasiswanya saja, dosen hukum pun juga harus diperhatikan bagaimana ketika menyampaikan materi dalam perkuliahan dengan bahasa-bahasa yang lebih membumi agar mahasiswa lebih memahami lebih konkret.

 

Ranah Kebiasaan dan Perilaku

Pembicara terakhir dalam rangkaian FGD ini, akademisi Universitas Mataram Nusa Tenggara Barat, Hayan Ul Haq mengatakan perkembangan masyarakat sangat cepat. Bahkan perubahan pun terjadi di tengah-tengah dilakukannya penelitian, termasuk konsep-konsep hukum yang juga berubah sangat cepat.

Menurutnya, perlu pembadanan Pancasila dalam sistem pendidikan hukum dalam rangka membangun kesadaran kolektif yang berkarakter Pancasila melalui pendidikan hukum. Tantangan yang dihadapi saat ini, dalam sistem sosial masyarakat kita ada kelompok government, komunitas, dan individual yang masing-masing memiliki nilainya sendiri. Cara untuk mengatasinya adalah memelihara nilai yang sama di dalam masing-masing kelompok itu, yaitu Pancasila.

Hayan menjelaskan, Indonesia memiliki karakteristik sendiri sebagai bangsa yang bertuhan, konsekuensinya melekatkan nilai-nilai Ketuhanan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karakteristik ini berbeda dengan bangsa lain dan merupakan ideologi yang genuin. Pemahaman keutuhan Indonesia seharusnya tidak hanya dalam konsep teritorial saja, melainkan juga dalam hubungannya dengan orang lain sebagai bagian dari diri kita.

“Oleh karena itu, dalam pendidikan hukum Pancasila, ranah pembelajarannya harus dilihat dari ranah kebiasaan dan perilaku,” tegas Hayan.

 

Baca juga:

MK dan Pakar Hukum Bahas Pengembangan Pendidikan Tinggi Hukum

 

Penulis: Ilham Wiryadi Muhammad.

Editor: Nur R.