CPNS MK Harus Rajin Ikuti Perkembangan Perkara dan Putusan

Diunggah pada : tuesday , 21 Mar 2023 00:00

BOGOR, HUMAS MKRI - Kegiatan Bimbingan Teknis (bimtek) Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara (PPHKWN) bagi 15 orang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) memasuki sesi akhir yakni penutupan. Kepala Bidang Program dan Penyelenggaraan Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (Pusdik MK) Nanang Subekti secara resmi menutup kegiatan ini pada Selasa, (21/03/2023) di Pusdik MK, Cisarua, Bogor, Jawa Barat.

Nanang dalam sambutan penutupan mengakui waktu yang tersedia untuk masing-masing materi dalam bimbingan teknis (bimtek) ini terasa kurang. Namun setidaknya apa yang disampaikan oleh para narasumber dapat memberikan landasan bagi para CPNS dalam bekerja di MK. Dengan mengetahui gambaran besar tentang MK akan mempermudah para CPNS dalam memberikan layanan dukungan kepada hakim konstitusi dan dalam memberikan pelayanan kepada para pencari keadilan. Nanang berpesan kepada para CPNS untuk rajin mengikuti perkembangan perkara, baik yang sedang diperiksa maupun yang telah diputus MK.

 

Ide Pembentukan MK

Sebelumnya, pada sesi 4 kegiatan ini, para peserta menerima materi mengenai Hukum Acara MK yang disampaikan oleh Lutfi Chakim, asisten ahli Hakim Konstitusi pada Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Chakim mengatakan, sejarah gagasan pembentukan MK telah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia. Saat para pendiri bangsa merumuskan UUD 1945, Mohamad Yamin mengusulkan pembentukan Balai Agung yang memiliki fungsi dan kewenangan untuk membanding undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar. Namun usulan itu ditolak dengan alasan Indonesia tidak memiliki cukup sarjana hukum dan tidak menganut trias politika.

Selanjutnya, jelas Chakim, pada 1970-an gagasan itu muncul kembali yang disampaikan oleh Ikatan Sarjana Hukum Indonesia yang mengusulkan agar Mahkamah Agung (MA) diberi wewenang untuk menguji UU. Berikutnya pada tahun 1990-an juga muncul kembali gagasan pengujian UU terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), dimana sejumlah kelompok mengusulkan kewenangan itu dilaksanakan oleh MPR, meski kemudian tidak tidak sempat terlaksana karena ada gerakan reformasi pada 1998. Namun demikian, gagasan itu menjadi salah satu tuntutan Gerakan Reformasi 1998. Akhirnya pada amendemen UUD 1945 tahap ketiga, MK lahir dengan segala kewenangan dan fungsinya.

 

Kewenangan MK

Kewenangan pokok MK yaitu menguji UU terhadap UUD. Kemudian kewenangan MK memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum (pemilu).

Terkait kewenangan MK memutus perselisihan hasil pemilu, MK telah memberikan penafsiran pelaksanaan pemilu dilaksanakan secara serentak. Penyelesaian perselisihan hasil pemilu telah ditentukan batas waktunya.

Berikutnya MK juga diperintah oleh UUD 1945 yaitu kewajiban memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Selain itu, MK memiliki kewenangan tambahan yang diberikan kepada MK yaitu memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah.

Berdasar fungsi dan kewenangan itu, MK menjadi penjaga Konstitusi, penafsir akhir konstitusi, pengawal demokrasi, pelindung hak konstitusional warga negara, pelindung hak asasi manusia.

 

Hukum Acara MK

Berikutnya, Chakim menjelaskan Hukum Acara MK yang diatur secara umum dalam UUD 1945. Kemudian diturunkan dalam UU MK, dan diatur lebih teknis lagi dalam Perturan MK.

Chakim juga menjelaskan seputar pengujian UU di MK. Ada pengujian materil dan formil. Pengujian materil yaitu pengujian mengenai muatan isi dari suatu norma, pasal, ayat, bahkan kata dalam suatu UU. Sementara pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan UU. “Trend yang berkembang saat ini masyarakat banyak mengajukan pengujian formil karena masyarakat merasa banyak proses pembahasan dan pembentukan UU yang tidak sesuai dan tidak melibatkan publik,” terangnya.

Lalu, siapa yang bisa menjadi pemohon dalam pengujian UU di MK? Pemohon adalah warga negara Indonesia. Chakim menegaskan warga negara asing tidak dapat mengajukan perkara di MK RI. Hal ini berbeda dengan beberapa MK di negara lain, seperti di Uni Eropa, dimana negara-negara anggota dapat mengajukan pengujian UU di MK negara anggota Uni Eropa lainya karena kedudukannya sebagai warga Uni Eropa. Berikutnya yang dapat menjadi pemohon di MK RI adalah masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan mendiami suatu wilayah tertentu, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara.

Dalam kesempatan itu Chakim juga menjelaskan bagaimana cara menyusun suatu permohonan. Pemohon dalam perkara pengujian UU harus mampu menunjukan kerugian konstitusional, baik secara faktual atau potensial berdasar penalaran yang wajar.


 

Baca juga:

Pegawai MK Harus Bisa Memberikan Pelayanan Prima


 

Penulis: Ilham WM.

Editor: Nur R.