STATISTIK PENGUNJUNG
  Hari ini
:
1
  Kemarin
:
1
  Bulan ini
:
29
  Tahun ini
:
126
  Total
:
5846314
  Alumni
:
48363
  Hits Count
:
46
  Now Online
:
1
Ketua MK: Pentingnya Penanaman Nilai-Nilai Pancasila dan Konstitusi Sejak Dini
Diunggah pada : wednesday, 01 Sep 2021 15:31

 

JAKARTA, HUMAS MKRI – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membuka secara resmi Kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Guru Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Tingkat Sekolah Dasar Bogor digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (31/8/2021) malam secara daring.  

Anwar mengatakan, tantangan untuk menanamkan nilai-nilai tentang Pancasila dan Kewarganegaraan kepada siswa-siswi di tingkat sekolah dasar bagi ibu dan bapak guru tidaklah mudah. Namun, nilai-nilai tersebut penting dan perlu untuk ditanamkan kepada mereka sejak dini. Karena penanaman nilai-nilai Pancasila dan Kewarganegaraan sejak dini adalah bagian dari pembentukan karakter dan budaya bangsa.

“Kita patut bersyukur, penanaman nilai budaya bangsa, khususnya tentang Pancasila dan Kewarganegaraan telah menjadi identitas yang begitu kental dan dikenal oleh berbagai bangsa dan negara di dunia. Namun pada saat yang bersamaan, kita juga perlu untuk tetap waspada, karena dalam kondisi arus informasi dan teknologi yang saat ini berkembang pesat, identitas budaya bangsa dapat tergerus oleh zaman,” ujar Anwar mengingatkan.

Barang Sakral

Anwar melanjutkan, penanaman nilai Pancasila dan Kewarganegaraan tidak dapat dilepaskan dari pengenalan sejarah lahirnya Konstitusi atau UUD 1945 dan perubahannya. Sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari kemerdekaan pada 1945, UUD 1945 telah mengalami beberapa kali perubahan.

Sejak pembentukannya oleh BPUPKI dan PPKI, pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, UUD 1945 pernah diubah menjadi Konstitusi RIS, UUDS 1950, kembali kepada UUD 1945 naskah awal, dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Terakhir, perubahan UUD 1945 pasca reformasi yang dilakukan sejak 1999 hingga 2002.

“Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 seolah menjadi barang sakral yang tidak boleh menjadi bahan diskusi atau perdebatan, apalagi untuk diubah. Setelah reformasi bergulir sejak 21 Mei 1998, sakralisasi terhadap UUD 1945 berakhir. Tuntutan demokratisasi, muncul dimana-mana seiring dengan derasnya arus reformasi yang menghendaki perubahan Konstitusi,” ungkap Anwar.

Oleh karena itu, ujar Anwar, setelah beralihnya rezim kekuasaan orde baru ke orde reformasi, pasca pemilu 1999, perubahan konstitusipun dimulai. Perubahan itu kemudian diwujudkan dalam empat tahap proses perubahan UUD 1945 sejak 1999 hingga 2002. Perubahan Konstitusi dipandang menjadi suatu kebutuhan yang harus dilaksanakan.

“Karena UUD 1945 yang lama dianggap tidak lagi cukup untuk mengatur dan memberikan dasar bagi terselenggaranya negara, dengan prinsip good governance serta untuk mendukung penegakan demokrasi dan hak-hak asasi manusia,” kata Anwar.

Setidaknya terdapat beberapa alasan pokok yang menyebabkan UUD 1945 tidak cukup mampu mendukung penyelenggaraan negara yang demokratis dan menegakkan hak asasi manusia, antara lain ketiadaan pembatasan kekuasaan Presiden yang pasti, sehingga memungkinkan Presiden untuk dipilih kembali dalam setiap kesempatan pemilu. Alasan lainnya, paham supremasi MPR yang cenderung mudah didominasi oleh partai pemenang pemilu, yang notabene adalah partai penguasa sehingga menyebabkan tidak adanya sistem checks, and balances antar cabang kekuasaan negara.

Dikatakan Anwar, cikal bakal lahirnya pemikiran tentang keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, sebenarnya telah dimulai saat pembahasan UUD 1945. Pemikiran tersebut digagas oleh Prof. Muhammad Yamin. Ketika pembahasan rancangan UUD oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Yamin mengatakan pentingnya sebuah lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan untuk membanding undang-undang. Namun pemikiran tersebut ditolak, dengan beberapa alasan. Ketika itu bangsa Indonesia baru saja merdeka, sehingga para sarjana hukum di Indonesia belumlah banyak. Tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang. Indonesia tidak menganut paham Trias Politica, melainkan distribution of power.

Saat pembahasan untuk mengubah UUD 1945 dalam era reformasi, tutur Anwar, pendapat mengenai pentingnya suatu lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan membanding undang-undang muncul kembali. Dalam perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi, mendapat respons positif dan menjadi salah satu materi perubahan UUD yang diputuskan oleh MPR. Setelah melalui proses pembahasan mendalam, cermat dan demokratis, akhirnya ide Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan, dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi bagian Perubahan Ketiga pada Sidang Tahunan MPR 2001 pada 9 November 2001.

Peningkatan Pemahaman Masyarakat

Sementara itu Plt. Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Imam Margono menyampaikan bahwa mengucapkan terima kasih kepada para peserta Kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Guru Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Tingkat Sekolah Dasar Bogor.

“Karena situasi pandemi, para peserta mengikuti kegiatan ini secara daring. Kami ucapkan terima kasih atas partisipasinya. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Yang Mulia Ketua MK yang di sela-sela kesibukannya masih berkenan untuk menghadiri pembukaan kegiatan ini,” kata Imam.

Dijelaskan Imam, MK sebagai lembaga peradilan yang dibentuk pada era reformasi, pada tahun ini telah menginjak usia ke-18 tahun tepat 13 Agustus 2003. Menghadapi berbagai tantangan dan persoalan dalam perjalanannya, MK terus melakukan kegiatan peningkatan pemahaman Konstitusi kepada seluruh elemen masyarakat. Persoalan demi persoalan sudah dapat dilewati dengan baik, semua persoalan menjadi masukan bagi MK dan mendewasakan MK sebagai suatu lembaga negara.

Dalam upaya meningkatkan akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan, meningkatkan akses masyarakat terhadap lembaga peradilan, sambung Imam, Mahkamah Konstitusi melalui Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi melakukan berbagai kegiatan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat seperti advokat, parpol, ormas, masyarakat hukum adat, guru, dosen, mahasiswa dan banyak lagi.

“Keberadaan guru di bidang Pancasila dan Kewarganegaraan memiliki peran yang sangat strategis dalam memberikan warna arah bangsa, dengan pembentukan karakter pada generasi penerus bangsa yang telah dimulai sejak usia dini,” tandas Imam.

Kegiatan peningkatan pemahaman ini berlangsung pada Selasa – Jumat (31/8/2021 – 3/9/2021) mendatang. Dalam kegiatan yang diikuti oleh 200 peserta tersebut hadir sejumlah narasumber, di antaranya hakim konstitusi, akademisi, panitera pengganti, dan lainnya. Para narasumber tersebut membahas mengenai hukum, konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi. (*)

Penulis: Nano Tresna Arfana

Editor: Lulu Anjarsari P