STATISTIK PENGUNJUNG
  Hari ini
:
1
  Kemarin
:
1
  Bulan ini
:
2
  Tahun ini
:
131
  Total
:
5847111
  Alumni
:
48363
  Hits Count
:
17
  Now Online
:
1
Bimtek Legal Drafting Hadirkan Sejumlah Narasumber
Diunggah pada : wednesday, 08 Sep 2021 11:57

 

JAKARTA, HUMAS MKRI – Hari kedua Bimbingan Teknis (Bimtek) Legal Drafting Angkatan 3 bagi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, Selasa (7/9/2021) menghadirkan sejumlah narasumber dengan beragam materi. Hadir Hakim Konstitusi Suhartoyo membawakan materi “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang”. Hadir pula I Dewa Gede Palguna dengan materi “Penafsiran Konstitusi”. Nuryanti Widyastuti menyampaikan materi mengenai “Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan”. Kemudian Sekretaris Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Priyanto, dengan materi “Politik Hukum dalam Pembentukan Perundang-undangan di Indonesia”.

Priyanto dalam paparannya mengatakan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Sedangkan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ada sejumlah tahap dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yakni perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, penetapan, pengundangan.   

Lebih lanjut Priyanto mengatakan, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis. Penyusunan prolegnas merupakan usaha yang sengaja dilakukan untuk menyusun skala prioritas pembentukan UU bagi pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat dan kepentingan negara. Selain itu, penyusunan prolegnas dilakukan secara terkoordinasi, baik di internal lingkungan Pemerintah dan DPR maupun antara Pemerintah dan DPR. Sistematika penyusunan prolegnas dilakukan dengan parameter dan metode tertentu.

Kemudian, dalam penyusunan prolegnas jangka menengah, penyusunan daftar RUU didasarkan atas perintah UUD 1945, perintah TAP MPR, perintah UU lainnya, sistem perencanaan pembangunan nasional, RPJPN, RPJMN, RKP dan rencana strategis DPR dan aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Pengusulan RUU prioritas tahunan masuk daftar prolegnas jangka menengah, izin prakarsa untuk RUU yang diusulkan namun tidak masuk dalam prolegnas jangka menengah dan dokumen kesiapan teknis. Penyusunan prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang Legislasi. 

“Penyusunan prolegnas di lingkungan DPR dengan mempertimbangkan usulan fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat. Penyusunan prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menkum,” ujarnya. 

Dikatakan Priyanto, hasil penyusunan prolegnas antara DPR, DPD, dan Pemerintah disepakati menjadi prolegnas dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Kemudian ditetapkan dengan Keputusan DPR (Keputusan DPR RI No. 1/DPR RI/IV/2020-2021 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Tahun 2020-2024).

Dalam prolegnas dimuat Daftar Kumulatif Terbuka yang terdiri atas pengesahan perjanjian internasional tertentu. Sementara dalam keadaan tertentu dapat diajukan RUU di luar prolegnas untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama Baleg dan Menkum.

Selain itu, Priyanto juga menjelaskan mengenai Naskah Akademik. Ia mengatakan Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu RUU.

 

Penafsir Konstitusi 

Narasumber berikutnya adalah I Dewa Gede Palguna yang pernah menjabat Hakim Konstitusi selama dua periode. Palguna menyajikan materi “Penafsiran Konstitusi”. Palguna mengatakan, pengertian paling umum mengenai penafsiran konstitusi adalah kegiatan yang mencakup pengertian metode atau strategi yang disediakan bagi orang-orang yang berusaha memecahkan perselisihan perihal pengertian atau penerapan konstitusi. 

“Ini pengertian umum mengenai penafsiran konstitusi. Tapi dari situ, apa yang kita dapatkan bahwa penafsiran konstitusi merupakan salah satu cara untuk mengelaborasi pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi,” kata Palguna.

Lebih lanjut Palguna mengatakan, penafsiran konstitusi bukanlah sekadar kegiatan mencocok-cocokkan peristiwa atau suatu hal atau satu keadaan tertentu dengan pasal-pasal atau ketentuan dalam konstitusi. Penafsiran konstitusi lebih dari itu, karena berusaha mengelaborasi pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi. Dengan demikian, penafsiran konstitusi merupakan mekanisme untuk mengetahui atau memastikan apakah konstitusi telah benar-benar dilaksanakan dalam praktik sesuai dengan pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya serta tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan oleh konstitusi itu.

Sedangkan konstitusi, ungkap Palguna, seperti dikatakan pakar konstitusi bernama K.C. Wheare, adalah resultante jajaran genjang dari berbagai kekuatan politik, ekonomi, sosial yang bekerja pada saat penerimaan konstitusi. Karena itu, konstitusi memiliki nature relatif statis dan tidak mudah untuk diubah. Oleh karena itu, maka konstitusi selalu membutuhkan penyempurnaan. 

Palguna melanjutkan, di negara-negara yang menganut supremasi konstitusi, kewenangan untuk menafsirkan konstitusi diberikan kepada pengadilan, terlepas dari soal apakah pengadilan itu bersifat tersendiri yaitu Mahkamah Konstitusi atau yang disebut dengan nama lain ataukah pengadilan biasa namun juga memiliki kewenangan sebagai Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, di negara-negara tersebut berlaku prinsip judicial supremacy dalam penafsiran konstitusi. Artinya, hanya penafsiran yang dilakukan oleh pengadilan yang memiliki kekuatan hukum mengikat dan sifatnya final.

Menurut Palguna, judicial supremacy sangat penting dalam penafsiran konstitusi karena konstitusi membutuhkan penafsir yang merdeka, tidak tunduk pada tekanan publik maupun instabilitas elektoral. Jika pengadilan tidak diberi kewenangan demikian, tertib konstitusi terancam pecah ke dalam pertengkaran politik. Pendapat demikian juga didukung oleh mayoritas ahli, di antaranya Erwin Chemerinsky, John Hart Ely. Dengan demikian, MK sebagai penafsir konstitusi mengandung pengertian bahwa hanya penafsiran konstitusi yang diberikan oleh MK (melalui putusan-putusan dalam pelaksanaan kewenangannya, khususnya kewenangan pengujian konstitusionalitas undang-undang) yang secara hukum mengikat.

 

Jenis Peraturan Perundang-Undangan 

Pemateri selanjutnya, Nuryanti Widyastuti menyampaikan materi “Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan”. Nuryanti mengatakan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut Nuryanti mengatakan, dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yakni memiliki kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan serta keterbukaan.

Sedangkan Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011, materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam Hukum Pidana, misalnya asas legalitas dan asas praduga tak bersalah. Sedangkan dalam Hukum Perdata, misalnya, hukum perjanjian, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

 

Hukum Acara PUU

Pada kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Suhartoyo juga mengisi kegiatan tersebut dengan menyampaikan materi “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang”. Suhartoyo mengatakan, kewenangan pengujian undang-undang (PUU) ini menjadi salah satu kewenangan MK yang diamanatkan UUD 1945. Terkait dengan kewenangan PUU ini, Suhartoyo mengatakan terdapat dua mekanisme, yakni pengujian undang-undang secara formil dan materil. Jika pada pengujian formil yang diujikan adalah prosedur tata cara dalam pembuatan suatu norma oleh pembuat undang-undang, sedangkan materil adalah terkait dengan substansi dari norma.

Suhartoyo juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu, harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya undang-undang yang diujikan.

Bicara persidangan di MK, sambung Suhartoyo, ada sidang pemeriksaan pendahuluan dimana majelis hakim wajib memberikan nasihat kepada pemohon. Kemudian sidang perbaikan permohonan. Setelah itu, sidang pembuktian dengan mendatangkan saksi, ahli dan lainnya. Terakhir, sidang pengucapan putusan.

Untuk diketahui, Bimbingan Teknis (Bimtek) Legal Drafting Angkatan 3 ini merupakan kerja sama Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) serta Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN). Bimtek berlangsung pada 6—10 September 2021 secara virtual.

 

 

Penulis: Utami Argawati.

Editor: Nur R.