STATISTIK PENGUNJUNG
  Hari ini
:
1
  Kemarin
:
1
  Bulan ini
:
29
  Tahun ini
:
126
  Total
:
5846325
  Alumni
:
48363
  Hits Count
:
57
  Now Online
:
1
MK Hadir Guna Menata Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia
Diunggah pada : tuesday , 09 Aug 2022 07:37

 

JAKARTA, HUMAS MKRI - Pada hari kedua Bimbingan Teknis Hukum Acara Pengujian Undang-Undang bagi Pengurus dan Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi (Pusdik MK), para advokat mendapat pembekalan materi dari Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono secara daring pada Rabu (3/8/2022). Pada kesempatan materi pertama kegiatan ini, Fajar mengawali paparan mengenai kehadiran MK untuk menata hukum dan ketatanegaraan di Indonesia. Sebab di masa lalu banyak sekali anomali politik tata negara yang tidak linear.

Misalnya saja pada saat Indonesia menerapkan sistem pemerintahan presidensial, namun pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) justru terjadi di tengah masa jabatannya. Mestinya, hal demikian tidak berlaku dalam sistem pemerintahan presidensial. Sementara pemakzulan itu dapat terjadi serta-merta jika sebuah negara menganut sistem pemerintahan parlementer.

Fajar menjelaskan, MK hadir untuk mencegah terjadinya anomali di masa lalu. Apabila ingin menurunkan presiden, maka harus melalui mekanisme peradilan dan pembuktian secara hukum dan bukan atas alasan politis. Meski hingga saat ini diakui Fajar, MK dalam kewenangannya belum pernah menangani perkara pemakzulan.

“Jadi MK dibentuk untuk menata hukum dan ketatanegaraan Indonesia supaya dalam koridor demokrasi sebagaimana yang dikehendaki undang-undang dasar,” kata Fajar dalam kegiatan yang diikuti 330 orang advokat secara daring dari wilayah kediaman masing-masing.

Fajar melanjutkan bahwa dulu jika undang-undang disahkan oleh pembuat undang-undang, maka rakyat harus menerima dan menjalankannya tanpa bisa melakukan tinjauan atas dampak dari suatu norma yang telah ditetapkan tersebut. Usai reformasi dan hadirnya MK, warga negara yang menilai suatu undang-undang diduga menciderai hak konstitusionalnya, dapat mengajukan permohonan ke MK meskipun seorang diri dan tanpa didampingi advokat. Berikutnya Fajar menjelaskan kehadiran MK juga melahirkan lapangan hukum baru. Misalnya, para advokat yang ada di lingkup hukum Indonesia membuat ruang baru berupa advokat konstitusi yang di dalamnya terdiri atas para advokat yang konsen pada isu-isu konstitusi.

 

Tafsir Konstitusi  

I Dewa Gede Palguna (Hakim Konstitusi Periode 2003-2008 dan 2015-2020) selaku pemateri kedua menjelaskan mengenai pentingnya penafsiran konstitusi yang dilakukan oleh pengadilan. Palguna menjabarkan pandangan para pakar tentang hakikat penafsiran konstitusi diberikan secara utuh pada pengadilan yang bersifat mengikat. Penafsiran konstitusi yang dilakukan oleh pengadilan tersebut dilaksanakan oleh para hakim yang murni orang hukum. Dengan kata lain, penafsiran konstitusi bukanlah urusan politik melainkan murni persoalan hukum.

“Oleh karena itu, dibutuhkan interpreter yang merdeka sehingga tidak tunduk pada kehendak elektoral. Sama halnya dengan penafsiran yang dilakukan oleh MK dalam putusan-putusannya untuk menjabarkan persoalan hukum dan konstitusional yang diperlukan sesuai dengan perkembangan hukum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat,” jelas Palguna yang saat ini aktif pada ruang akademik di Universitas Udayana.

Berikutnya Palguna menjelaskan mengenai jenis metode penafsiran konstitusi yang terbagi atas penafsiran tekstual, historis, struktural, responsif, doktrinal, prudensial, dan etikal. Terkait hal ini, Palguna menekankan keberadaan hakim-hakim yang dapat saja bertolak pada originalisme dan non-originalisme dalam penafsiran konstitusi tersebut. Jadi, jika merujuk pada praktik maka para penafsir konstitusi/perancang khususnya penganut non-originalis bahwa penafsiran yang dibuat tersebut dapat bersifat sementara dan memungkinkan akan adanya perkembangan yang lebih mencerahkan dari penafsiran konstitusi yang telah dilakukan sebelumnya.

Palguna juga menjabarkan mengenai hermeneutika sebagai metode penafsiran yang pada awal kemunculannya dimanfaatkan untuk menafsirkan naskah-naskah kuno. Pada periode berikutnya terkait dengan penggunaannya dalam penafsiran konstitusi, ilmu ini terkandung dalam pertimbangan hukum yang dituangkan dari pemahamannya atas teks dan konteks suatu norma sehingga diperoleh pemahaman dan penafsiran yang holistik.

 

Kewenangan Pengujian

Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dari hierarki tersebut, Tap MPR berada di antara UUD 1945 dan undang-undang dan jika dikaitkan dengan kewenangan MK untuk melakukan judicial review, terdapat dua pandangan atas hal ini. Pendapat pertama menyatakan Tap MPR dapat dijadikan objek pengujian di MK karena muatan materinya sama dengan undang-undang, hanya saja dalam hierarki peraturan perundang-undangan menempati posisi yang lebih tinggi dari undang-undang. Sementara pendapat kedua mengatakan Tap MPR tidak dapat diujikan ke MK karena posisinya yang lebih tinggi dari undang-undang sehingga hal demikian tidak menjadi kewenangan MK. Demikian tanggapan yang disampaikan Peneliti Senior MK Pan M. Faiz atas pertanyaan seorang peserta Bernama Omar pada sesi ketiga Bimtek Hukum Acara MK bagi Pengurus dan Anggota Peradi.

“Tap MPR pernah dikeluarkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia kemudian pada 2011 dimasukkan kembali. Hal ini dilakukan dengan alasan Tap MPR masih dipakai sebagai dasar pembuatan suatu aturan. Meskipun secara teoretis, Tap MPR tidak tergolong dalam aturan karena kekuatannya tidak seperti undang-undang,” jelas Faiz.

Sementara terkait dengan estimasi penjadwalan Putusan MK usai penyerahan kesimpulan dalam suatu sidang, Singgih yang berasal dari Aceh menanyakan landasan aturan yang dipakai MK terkhusus untuk pengujian undang-undang. Menjawab pertanyaan Singgih, Faiz mengatakan saat DPR membuat UU MK tidak menyebutkan aturan batas waktu untuk menyelesaikan perkara PUU. Hal ini didasarkan atas pertimbangan kompleksitas norma yang diujikan dapat berbeda-beda. Namun tidak demikian halnya dengan pengajuan perkara pemilu dan pilkada yang memiliki batas waktu maksimalnya.

Berikutnya terkait dengan batas waktu pengajuan diri sebagai Pihak Terkait (PT) pada sidang PUU, Faiz menyebutkan bahwa tidak terdapat batas waktu pengajuan diri selama persidangan tersebut belum berakhir atau sampai pada penyerahan kesimpulan. Sehingga, pihak-pihak manapun yang menilai dirinya terkait dengan suatu perkara baik langsung ataupun tidak langsung dan ingin mengajukan diri sebagai PT maka dapat mengajukan diri mulai dari saat sidang pendahuluan, pembuktian. Namun umumnya PT adalah pihak-pihak yang terlebih dahulu mengikuti dan menunggu proses persidangan. Sebab, dalam sidang PUU sifatnya bukanlah sengketa dengan objek gugatan layaknya di pengadilan lainnya, namun persoalan antara Pemohon dengan objek hukum berupa suatu norma. Sehingga, keberadaan DPR dan Pemerintah di dalam sidang PUU adalah pemberi keterangan dan bukan lawan Pemohon.

 

Menghidupkan Kembali

Pertanyaan menarik lainnya muncul dari Alwan yang mempertanyakan kemungkinan MK dalam kewenangannya menghidupkan kembali norma, baik undang-undang maupun pasal yang telah dibatalkannya dalam suatu putusan. Faiz menjawab, MK dalam kiprahnya belum pernah menghidupkan kembali pasal yang telah dibatalkannya. Jika suatu saat hal demikian terjadi, MK justru mempertanyakan objek permohonan yang diujikan karena ketiadaan norma yang diujikan Pemohon. Pada satu waktu, MK pernah menghidupkan kembali suatu undang-undang, salah satunya UU Ketenagalistrikan dan hal ini dilakukan sementara. Karena sejatinya, mengenai menghidupkan kembali pasal-pasal ini menjadi kewenangan dari pembentuk undang-undang.

Selanjutnya, Faiz juga menjawab pertanyaan Alwan tentang keberadaan Pembukaan UUD 1945 dan bunyi sila Pancasila yang ada di dalam Pembukaan UUD 1945 yang dapat dijadikan landasan PUU. Menurutnya, hal demikian dapat saja dilakukan sebab UUD 1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-Pasal sehingga Pemohon dapat menjadikannya sebagai landasan pengujian. Namun Faiz menyarankan agar Pemohon melandaskan pengujiannya dengan mengombinasikan keduanya.

“Secara praktik bisa, MK dalam beberapa putusan menggunakan pertimbangan dengan merujuk pada Pembukaan UUD 1945 atau juga Pancasila yang ada dalam Pembukaan tersebut. Maka dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang terdiri atas Pembukaan dan Pasal-Pasal, maka karena Pembukaan bagian dari UUD 1945 hal tersebut bisa digunakan dalam pengujian. Tetapi kalau dimungkinkan, jangan hanya menggunakan Pembukaan UUD 1945 saja. Jadi gunakan keduanya, kombinasikan antara Pembukaan dan Pasal-Pasalnya. Jika Pembukaan UUD 1945 itu lebih umum maka pasal-pasalnya membuat segala sesuatunya menjadi lebih konkret,” jawab Faiz.

 

Penulis: Sri Pujianti.

Editor: Nur R.